Kamis, 20 Juni 2013

Dunia tu mah., apo lo tu.. *Sebuah Catatan (originally by : Wewen Efendi, S.Sos)

Dunia tu mah., apo lo tu.. :-) _Minang  (Saya kesulitan menterjemahkan kalimat ini ke dalam Bahasa Indonesia )

Belakangan ini saya sering mendengar ungkapan ini dilontarkan oleh beberapa rekan sebaya (anak muda/ pemuda). Ungkapan itu – baik secara lisan ataupun tulisan (lewat situs jejaring sosial, melalui status, tweet, ataupuin komentar)- sering diungkapkan dengan nada serupa becanda oleh para penuturnya..

Bagi saya, walaupun kalimat tersebut dituturkan secara bercanda (bagarah_minang), mengandung arti/ makna yang sangat dalam.. Saya yakin, ungkapan/ kalimat ini tidak lahir begitu saja. Saya yakin, ada suatu hal yang mendasari/ melatar belakangi lahirnya kalimat tersebut.. Saya yakin ada sebuah nilai filosofis dibalik kalimat ini.

Jika saya boleh menafsirkan kalimat ini mengandung makna --kurang lebih--, kita tidak boleh terlalu ambisius dalam mengejar kenikmatan dunia, santai/ biasa saja lah.  Kenikmatan dunia yang dimaksud bisa jadi berupa harta dan tahta/ kekuasaan. Karena kenikmatan yang dimaksud hanyalah bersifat sementara (dunia fana). Secara implisit, si penutur mengakui akan adanya hari akhirat/ hari pembalasan yang notabenenya adalah kekal.

Dilain pihak, kalimat ini bisa jadi menggambarkan sebuah rasa pesimisme di kalangan penuturnya. Pesimisme yang dimaksud adalah bahwa berkurangnya antusiasme penutur dalam mencapai apa yang diinginkan yang diakibatkan oleh faktor-faktor ”diluar dirinya”.

Terkait faktor-faktor ”diluar diri” yang berpengaruh terhadap rasa pesimis ini saya coba gambarkan dengan kondisi global –khususnya kondisi nasional- saat ini. Seperti kita ketahui, bangsa ini saat ini –tidak dapat dipungkiri- sedang mengalami krisis multi dimensi. Krisis ekonomi, sosial, politik, moral, budaya, dan agama adalah beberapa diantaranya. Satu aspek, moral (bisa dibaca agama) dapat menentukan hasil dari aspek lainnya. Misal, kehidupan berpolitik dan berekonomi dapat menjadi baik, jika moral dari pemimpin yang menaungi pranata tersebut juga baik. Begitu juga sebaliknya, kehidupan berpolitik dan berekonomi akan tidak baik, jika moral pemimpinnya tidak baik. Dari analogi ini, saya coba gambarkan bahwa, sumber-sumber daya ekonomi, sumber daya politik beserta hasil-hasilnya hanya dimiliki oleh sebagian orang (minoritas) yang menguasai hajat ekonomi politik masyarakat lainnya. ”Kebijaksanaan-kebijaksanaan” politik ekonomi hanya dikuasai oleh sebagian orang, namun efek/dampak nya langsung berpengaruh kepada orang-orang lainnya. Sebut saja eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Bahkan mungkin Pers/ media dan lembaga swadaya masyarakat, atau ”elit-elit” lainnya) adalah beberapa pranata yang mengeksekusi hal demikian (minimal dalam hal dapat mengakses sumber daya tersebut). Namun, jaminan apakah yang kita dapatkan dari ”kebijakan-kebijakan” tersebut yang berpihak kepada masyarakat banyak? (termasuk kepada para penutur ”Dunia tu mah, apo lo tu ).. Fenomena ini (penguasaan sumber daya oleh beberapa kelompok tertentu) dianggap sebagai “kekuatan besar” oleh masyarakat marginal yang dapat mempengaruhi (baca: menghambat) mereka dalam mecapai cita-cita/ tujuan mereka.. Karena apapun usaha mereka, hasil akhirnya juga ditentukan oleh “kebijakan-kebijakan” makro dari penguasa sumber daya. Maka, tak jarang, kalimat “Dunia tu mah, apo lo tu..” juga beriringan dengan kalimat “Awak ko apo bana lah, sarok-sarok kuaci nyo” (Lagi-lagi saya kesulitan dalam menterjemahkan kalimat ini ke dalam Bahasa Indonesia_yang baik dan benar_  )

Dari ilustrasi diatas, jika dikaitkan dengan rasa pesimis tentunya dapat juga diterima, karena bahwa sesorang individu bisa jadi tidak bebas terhadap dirinya sendiri, melainkan ia dipengaruhi oleh kondisi di sekitarnya (para pemimpin) yang membuat dirinya pesimis/ tidak lagi ambisius dalam mencatai tujuannya.. Maka kalimat “Dunia tu mah, apo lo tu  menjadi semacam “pelarian” semu dari cita-cita nya..


****
originally by : Wewen Efendi, S.Sos