Dunia tu mah., apo lo tu.. :-) _Minang (Saya kesulitan menterjemahkan kalimat ini ke dalam Bahasa Indonesia )
Belakangan
ini saya sering mendengar ungkapan ini dilontarkan oleh beberapa rekan
sebaya (anak muda/ pemuda). Ungkapan itu – baik secara lisan ataupun
tulisan (lewat situs jejaring sosial, melalui status, tweet, ataupuin
komentar)- sering diungkapkan dengan nada serupa becanda oleh para
penuturnya..
Bagi saya, walaupun kalimat tersebut
dituturkan secara bercanda (bagarah_minang), mengandung arti/ makna yang
sangat dalam.. Saya yakin, ungkapan/ kalimat ini tidak lahir begitu
saja. Saya yakin, ada suatu hal yang mendasari/ melatar belakangi
lahirnya kalimat tersebut.. Saya yakin ada sebuah nilai filosofis
dibalik kalimat ini.
Jika saya boleh menafsirkan kalimat
ini mengandung makna --kurang lebih--, kita tidak boleh terlalu ambisius
dalam mengejar kenikmatan dunia, santai/ biasa saja lah. Kenikmatan
dunia yang dimaksud bisa jadi berupa harta dan tahta/ kekuasaan. Karena
kenikmatan yang dimaksud hanyalah bersifat sementara (dunia fana).
Secara implisit, si penutur mengakui akan adanya hari akhirat/ hari
pembalasan yang notabenenya adalah kekal.
Dilain pihak,
kalimat ini bisa jadi menggambarkan sebuah rasa pesimisme di kalangan
penuturnya. Pesimisme yang dimaksud adalah bahwa berkurangnya antusiasme
penutur dalam mencapai apa yang diinginkan yang diakibatkan oleh
faktor-faktor ”diluar dirinya”.
Terkait faktor-faktor
”diluar diri” yang berpengaruh terhadap rasa pesimis ini saya coba
gambarkan dengan kondisi global –khususnya kondisi nasional- saat ini.
Seperti kita ketahui, bangsa ini saat ini –tidak dapat dipungkiri-
sedang mengalami krisis multi dimensi. Krisis ekonomi, sosial, politik,
moral, budaya, dan agama adalah beberapa diantaranya. Satu aspek, moral
(bisa dibaca agama) dapat menentukan hasil dari aspek lainnya. Misal,
kehidupan berpolitik dan berekonomi dapat menjadi baik, jika moral dari
pemimpin yang menaungi pranata tersebut juga baik. Begitu juga
sebaliknya, kehidupan berpolitik dan berekonomi akan tidak baik, jika
moral pemimpinnya tidak baik. Dari analogi ini, saya coba gambarkan
bahwa, sumber-sumber daya ekonomi, sumber daya politik beserta
hasil-hasilnya hanya dimiliki oleh sebagian orang (minoritas) yang
menguasai hajat ekonomi politik masyarakat lainnya.
”Kebijaksanaan-kebijaksanaan” politik ekonomi hanya dikuasai oleh
sebagian orang, namun efek/dampak nya langsung berpengaruh kepada
orang-orang lainnya. Sebut saja eksekutif, legislatif, dan yudikatif
(Bahkan mungkin Pers/ media dan lembaga swadaya masyarakat, atau
”elit-elit” lainnya) adalah beberapa pranata yang mengeksekusi hal
demikian (minimal dalam hal dapat mengakses sumber daya tersebut).
Namun, jaminan apakah yang kita dapatkan dari ”kebijakan-kebijakan”
tersebut yang berpihak kepada masyarakat banyak? (termasuk kepada para
penutur ”Dunia tu mah, apo lo tu ).. Fenomena ini (penguasaan sumber
daya oleh beberapa kelompok tertentu) dianggap sebagai “kekuatan besar”
oleh masyarakat marginal yang dapat mempengaruhi (baca: menghambat)
mereka dalam mecapai cita-cita/ tujuan mereka.. Karena apapun usaha
mereka, hasil akhirnya juga ditentukan oleh “kebijakan-kebijakan” makro
dari penguasa sumber daya. Maka, tak jarang, kalimat “Dunia tu mah, apo
lo tu..” juga beriringan dengan kalimat “Awak ko apo bana lah,
sarok-sarok kuaci nyo” (Lagi-lagi saya kesulitan dalam menterjemahkan
kalimat ini ke dalam Bahasa Indonesia_yang baik dan benar_ )
Dari
ilustrasi diatas, jika dikaitkan dengan rasa pesimis tentunya dapat
juga diterima, karena bahwa sesorang individu bisa jadi tidak bebas
terhadap dirinya sendiri, melainkan ia dipengaruhi oleh kondisi di
sekitarnya (para pemimpin) yang membuat dirinya pesimis/ tidak lagi
ambisius dalam mencatai tujuannya.. Maka kalimat “Dunia tu mah, apo lo
tu menjadi semacam “pelarian” semu dari cita-cita nya..
****
originally by : Wewen Efendi, S.Sos